Pada mulanya aku sering berpikir
apakah aku ini normal atau tidak. Tapi setelah membaca dari sebuah situs
terkemuka di internet, katanya pikiran yang sering menggodaku ini
normal-normal saja. Bahkan kata situs itu, lebih dari 50% para suami
suka membayangkan seperti yang sering kubayangkan. Suka membayangkan,
seandainya istri mereka disetubuhi lelaki lain. Terutama mereka yang
sudah mulai dilanda kejenuhan dalam rumah tangganya.
Apakah aku sudah mulai jenuh
pada Sinta yang sudah 10 tahun menjadi istriku dan menjadi ibu dari
kedua anak-anakku? Bukankah dahulu aku begitu tergila-gilanya pada
Sinta, sehingga tak sabar lagi ingin cepat-cepat menikahinya waktu ia
baru tamat SMA? Karena takut keburu disamber pria lain?
Ya, tadinya Sinta adik kelasku
di SMA. Waktu aku kelas 3, dia baru kelas 1. Dan aku hanya mengejar D2,
lalu kerja dan cepat-cepat menikahi Sinta yang baru lulus SMAnya.
Sinta lahir dari keluarga yang
cukup mapan. Sehingga ia tidak terlalu merongrong padaku, bahkan
mertuaku mendorong agar aku melanjutkan kuliah sampai S1. Kerja sambil
kuliah, akhirnya membuatku lumayan berhasil di kantorku. Setelah meraih
S1, posisiku makin baik di kantorku.
Sinta bisa kusebut luar biasa
bentuknya. Teman-temanku juga menganggapku sukses, karena berhasil
mempersunting Sinta yang demikian cantik dan seksinya. Kulitnya termasuk
putih bersih untuk ukuran orang Indonesia. Tubuhnya tinggi langsing,
tapi payudaranya lumayan montok, dengan bra ukuran 36, yang selalu
dirawat agar tetap kencang. Wajahnya rada mirip Sarah Azhari. Bahkan di
mataku, Sinta lebih cantik. Kulitnya pun lebih putih daripada kulit
Sarah Azhari. Hanya hidungnya memang tidak sebesar hidung artis seksi
itu. Tapi hidung Sinta tetap tergolong mancung.
Aku mau to the point mengapa aku
membuat tulisan ini. Sekaligus untuk sharing dengan teman-teman yang
memiliki kesamaan dengan pengalamanku.
Yang
menjadi titik masalahku adalah gairah seksualku. Meskipun aku mempunyai
seorang istri yang cantik dan seksi, gairah seksualku menurun sejak
setahun yang lalu. Kalau aku bersenggama dengan istriku, rasanya aku
sangat memaksakan diri, mencari-cari gairah untuk memenuhi kewajibanku
sebagai seorang suami. Padahal umurku baru 30 tahun, sementara istriku
baru 28 tahun.
Aku sering merasa bersalah kalau
tidak memenuhi kewajiban batin pada istriku. Padahal aku tahu Sinta
sangat dominan nafsu seksnya. Terkadang ia sengaja merangsangku
sedemikian rupa, dengan tujuan agar aku menyetubuhinya. Lalu aku pun
mengkhayalkan macam-macam supaya gairah seksualku bangkit. Anehnya
khayalanku lain dari yang lain. Aku suka membayangkan Sinta sedang
disetubuhi orang lain. Lalu aku merasa cemburu dan dari kecemburuan itu
bangkitlah nafsuku. Kemudian aku berhasil membangkitkan kejantananku dan
menggauli SInta sebagaimana mestinya.
Aneh memang. Aku seperti
mendapatkan obat yang mujarab kalau mengkhayalkan istriku sedang
disetubuhi orang lain, sementara aku seakan-akan berada di dekat mereka.
Kemudian hal ini berlanjut dengan kebiasaan baru. Aku suka nonton dvd
bokep. Tapi setelah sering digoda oleh khayalan aneh itu, aku jadi
pilih-pilih waktu mau membeli plat dvdnya. Hanya yang 3some atau swinger
yang kupilih. Yang 3some, hanya MMF (male-male-female) yang kupilih.
Lalu aku nikmati dvd-dvd porno itu dengan membayangkan seolah-olah aku
jadi salah seorang pria yang sedang menggauli wanita itu. Isteriku juga
suka kuajak nonton bareng. Meski ia tidak begitu suka nonton film porno,
tapi setelah sering kupaksa akhirnya mau juga menontonnya di dalam
kamarku.
Waktu nonton film 3some atau
bang my wife atau swinger, pada mulanya istriku berkomentar seperti
tidak suka, “Ih…masa satu perempuan dikeroyok dua laki-laki begitu?!”
Aku berusaha menjawab sambil memberi sugesti sedikit demi sedikit, “Tapi dengan threesome begitu, semua pihak jadi puas sekali.”
“Maksud Mas?” Sinta memandangku dengan sorot heran.
“Hehehe…cewek
itu pasti akan merasa lebih puas digauli dua orang cowok daripada sama
satu cowok. Lihat…dia dielus dari dua arah, jadi lengkap kan? Dan
hehehe…pasti lebih variatif, karena ada dua macam batang kemaluan….”
“Tapi cowok-cowoknya?”
“Akan
lebih puas juga. Waktu temannya sedang menyetubuhi perempuan itu,
gairahnya jadi bangkit lagi. Jadi yang biasanya cuma kuat satu kali
dalam semalam, kalau threesome begitu bisa tiga atau empat kali seorang.
Kalau dua orang…ya bisa sampai delapan kali atau lebih perempuan itu
menerima ejakulasi partner-partnernya.”
“Ihhh…” Sinta bergidik.
Lalu pandangan kami tertuju ke
film lain. Tentang seorang suami yang sudah tua, sementara istrinya
masih muda. Judulnya juga “Please bang my wife”. Bisa ditebak seperti
apa jalan cerita film itu.
Lagi-lagi istriku protes, “Kok bisa ya suami itu menyuruh orang lain menyetubuhi istrinya?”
“Itulah salah satu kreativitas
dalam kehidupan seksual, untuk mengatasi kejenuhan. Di zaman sekarang
hal seperti itu sudah lazim.”
“Lazim?! Di barat kali Mas.”
“Di
negara kita juga sudah banyak sekali yang melakukannya. Nanti deh
kuperlihatkan sebuah situs yang menawarkan swinger, threesome, gang bang
dan sebagainya.”
Kemudian kujelaskan apa yang
disebut swinger, threesome, gang bang dan sebagainya. Sinta seorang
pendengar yang baik. Tapi malam itu ia memperlihatkan ketidaksetujuannya
pada penjelasanku, “Manusia kok aneh-aneh sih? Masa istrinya dibiarin
digauli orang lain? Disaksikan sama suaminya sendiri lagi. Apa suaminya
nggak cemburu?”
“Tentu saja
cemburu. Tapi dari cemburunya itu sang suami mendapatkan sensasi.
Sehingga nafsunya jadi timbul secara luar biasa. Lebih hebat daripada
memakai obat perangsang.”
“Ih,” istriku bergidik, “Kalau aku dibegituin sama orang lain, Mas begitu juga? Jadi tambah nafsu padaku?”
Pertanyaan itu agak mengejutkan.
Terlalu cepat rasanya. Tapi aku berusaha menjawabnya sambil berusaha
menenangkan diri, “Aku malah sering membayangkan kamu digauli pria lain.
Khayalan itu memang nyebelin pada mulanya. Tapi anehnya, setelah
membayangkan hal itu, nafsuku jadi timbul, sayang.”
Sinta menatapku dengan sorot
penuh selidik, “Nggak salah tuh? Jangan memancing pertengkaran ah. Kita
kan sudah sepakat tidak mau bertengkar lagi, demi ketentraman anak-anak
kita.”
Aku tersenyum. Kupeluk
pinggangnya, lalu kuelus rambutnya sambil berbisik, “Aku serius, sayang.
Hidup di zaman sekarang memang harus kreatif. Jangan berjiwa
kampungan.”
“Maksud Mas? Mau ikut-ikutan seperti di film itu? Terus hubungan kita jadi rusak dan anak-anak jadi korban, begitu?”
Susah
sekali meyakinkan istriku agar mengikuti jalan pikiranku. Padahal
biasanya ia penurut, senantiasa mengikuti jalan pikiranku. Tapi seperti
yang kubaca dari sebuah situs, hal seperti ini memang perlu waktu.
Jangan memaksakan kehendak. Semuanya harus berjalan tenang dan smoothly.
Tapi diam-diam kubujuk terus
istriku agar mau mengikuti apa yang senantiasa menggoda pikiranku.
Jawabannya malah semakin tegas, “Nggak ah. Jangan ngaco Mas. Mungkin Mas
sudah bosan padaku dan ingin dapat izin untuk selingkuh dengan cewek
lain kan? Buang saja jauh-jauh pikiran edan itu Mas. Ingat akibatnya
nanti.”
Aku terhenyak. Tapi aku masih
punya senjata. Dengan membelai rambutnya secara lembut dan berkata
setengah berbisik, “Kamu salah paham, sayang. Fokusnya bukan seperti
itu. Aku ingin mendapatkan manfaat yang fantastis dari keinginan itu.
Sungguh, aku akan tetap mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku berjanji
bahwa aku justru akan semakin mencintaimu, sayangku, buah hatiku,
permataku….”
Sinta hanya menatapklu dengan
sorot nanar. Lalu memelukku, tanpa kata-kata terlontar lagi dari
mulutnya. Aku pun tak mau mendesak terus. Biarlah semuanya berjalan
secara santai. Jangan ada unsur pemaksaan.
Tapi diam-diam aku pun semakin
aktif mengcopy kisah-kisah dan pengakuan dari para pelaku swinger maupun
threesome. Semuanya kusimpan di komputerku yang bisa selalu online ke
internet di dalam kamarku. Dan pada suatu pagi, sebelum aku berangkat ke
kantor, kubisiki istriku, “Nanti bacalah semua salinan dari situs
terkenal itu. Aku sudah saving di file dengan kode MMF. Minimal pelajari
dulu, supaya kamu mulai mengerti, Yang.”
Istriku tidak menjawab. Tapi
sorenya, setelah aku pulang dari kantor dan sedang menikmati kopi panas
di depan TV, Sinta menghampiriku di sofa. Duduk di sampingku sambil
menyandarkan kepalanya di bahuku. Dan berkata, “Tadi sudah kubaca
semuanya Mas.”
“File MMF itu?” tanyaku dengan jantung deg-degan, karena ingin tahu reaksinya.
“Iya,”
sahut istriku perlahan, “Ternyata sudah banyak yang melakukan itu, ya
Mas. Hampir di semua kota besar di negara kita sudah ada clubnya.”
“Iya. Dan kisah-kisah nyatanya sudah dibaca juga?”
“Sudah. Ih…bikin aku degdegan bacanya.”
“Sekarang
mari kita bicara jujur. Kamu terangsang nggak waktu membaca kisah-kisah
nyata itu?” tanyaku sambil memperhatikan wajah istriku.
“Iya sih…terangsang banget….membayangkan dua orang cowok me…ah…pokoknya terangsang Mas. Tapi Mas nggak marah kan?”
“Kenapa harus marah? Kan semuanya itu aku yang mulai, aku yang menginginkannya, karena sudah lama aku mengkhayalkannya.”
“Terus?”
“Sekarang
ya terserah kamu, sayang. Aku nggak mau main paksa. Aku ingin agar
seandainya hal itu terjadi, tidak ada yang merasa dipaksa.”
“Dan tidak boleh ada yang menyesal?!” Sinta menatapku dengan senyum malu-malu.
“Aku jamin, sayang. Kamu buktikan sendiri nanti, aku malah akan semakin sayang padamu.”
Istriku terdiam. Kuelus pipinya dengan lembut, “Sudah mulai mengerti apa yang kuinginkan?”
“Nggak tau Mas. Aku takut akibatnya. Lagian emang ada orang yang mau kita ajak?”
“Ada. Dijamin ada. Orangnya dijamin bersih. Tampan dan intelektual. Bukan orang urakan.”
“Lho…kok sepertinya sudah dipersiapkan sematang itu, Mas?”
“Mmm…tadinya
dia itu teman chatting. Dia orang baik. Sering datang ke kantorku. Dia
sudah 26 tahun, tapi masih bujangan. Dia trauma, karena pacarnya
meninggal ketika dia sedang siap-siap mau menikahi cewek itu.”
“Kenapa meninggal? Kecelakaan?”
“Bukan. Kena kanker hati. Dibawa ke Singapura, tapi tetap tidak tertolong.”
“Terus…emangnya Mas sudah janjian sama dia?”
“Baru
diajak ngobrol sepintas saja. Dia cepat mengerti, karena pernah kuliah
di Amerika. Dia bilang, di Amerika hal seperti itu sudah biasa. Padahal
sebenarnya di negara kita juga sudah banyak yang melakukannya.”
Sinta
terdiam. Ketika aku bertanya mengenai keputusannya, ia cuma berkata
perlahan, “Nggak tau Mas. Aku masih takut…masih harus dipikirkan dulu
baik buruknya.”
“Baiklah,” kataku
sambil membelai rambutnya, “Pikirkan dulu sematang-matangnya. Yang
jelas, aku menganggap hal itu positif. Sangat positif, demi keutuhan
hubungan kita. Bukan sebaliknya.”
“Kedengarannya rada aneh memang. Demi keutuhan hubungan kita, tapi jalannya seperti itu,” kata istriku dengan nada dingin.
“Karena
aku bisa memiliki khayalan yang fantastis. Lebih kuat daripada obat
perangsang. Ini akan menimbulkan gairah yang luar biasa, baik bagiku
maupun bagimu.”
Hari itu tidak
ada keputusan. Keesokannya kudesak lagi istriku. Lalu ia berkata, “Kalau
soft dulu bagaimana Mas? Jangan langsung…soalnya aku masih risih
sekali.”
“Boleh,” sahutku
gembira. Minimal sudah ada “kemajuan” dalam pendirian istriku. “Misalnya
ciuman saja dulu. Kalau kamu merasa kurang enjoy, ya jangan
dilanjutkan.”
“Tapi Mas…jujur
aja, aku belum bisa ngebayangin apa yang bakal terjadi nanti.
Jangan-jangan aku pingsan sebelum ketemuan orang itu.”
“Hmmm…jangan takut, sayang. Kan ada aku di sampingmu,” kataku sambil mengelus punggungnya.
“Justru aku nggak bisa bayangin dipeluk…dicium dan sebagainya oleh laki-laki lain, di depan suamiku sendiri.”
“Yah…di situlah kita harus sama-sama tegar, demi sesuatu yang lebih bermanfaat buat batin kita.”
—-XXXXXXXXXXXXXX—-
BARU sampai di situ isi file
“Istri Tercinta” itu. Jelas file itu belum selesai, kalau Mas Toni mau
menyelesaikannya. Karena aku paling tahu apa yang telah terjadi. Isi
file itu baru awalnya, awalnya sekali.
Setelah membaca kisah nyata yang belum selesai itu, aku pun jadi tercenung dibuatnya.
Terbayang lagi semuanya dengan
jelas di pelupuk batinku. Sangat jelas, karena itu awal dari suatu
perjalanan yang tadinya kuanggap aneh, tapi lalu aku berusaha
membiasakan diri. Dan lama kelamaan jadi suatu tuntutan batin, untuk
melakukannya lagi dan lagi dan lagi.
Oh, kenapa aku harus mengalami
kisah hidup seperti ini? Tapi, apakah aku bisa disalahkan? Bukan aku
membela diri. Semua yang terjadi itu adalah untuk mengikuti keinginan
suamiku. Tadinya aku malah tak pernah membayangkan akan terjadi seperti
itu.
Aku masih ingat benar, sore itu
aku masuk ke dalam hotel dengan jantung berdegup kencang. Mas Toni yang
mengatur semuanya itu. “Kita harus datang duluan, supaya kamu tidak
terlalu canggung, sayang.”
Kalau tidak salah jam 18.30 aku
dan suamiku sudah berada di dalam kamar hotel five star itu. Di kamar
yang terletak di lantai 16. Padahal Mas Toni sendiri yang bilang bahwa
janjinya dengan orang itu jam 19.30. Berarti harus menunggu sejam.
Aku menurut saja ketika suamiku
menyuruhku mengganti pakaian dengan kimono yang dibawa dari rumah. “Biar
lebih seksi,” katanya dengan senyum menggoda.
Kucubit
lengan suamiku dengan jantung berdebar-debar. Lalu masuk ke kamar mandi
untuk mengganti celana panjang dan blouse dengan kimono sutra putih
bercorak sakura biru muda. Anehnya, di kamar mandi aku merasa harus
menanggalkan behaku. Lalu menggantungkannya di kapstok kamar mandi.
Apakah ini pertanda bahwa aku sudah siap melakukan apa yang Mas Toni
inginkan? Entahlah. Ketemu sama orangnya juga belum.
Waktu aku masih di kamar mandi,
terdengar suara Mas Toni berbicara dengan seorang pria. Dengan siapa ya?
Dengan bell boy? Tapi kedengarannya mereka cukup akrab. Membuatku
penasaran. Lalu aku mengintip dari pintu kamar mandi yang kubukakan
sedikit. Ada seorang cowok tinggi dan tampan sedang berbicara dengan Mas
Toni. Ah…itukah orang yang sudah dijanjikan oleh suamiku? Orangnya
setampan itu? Ah…kenapa dia sudah datang secepat ini? Bukankah
janjiannya sejam lagi?
Lututku terasa gemetaran. Dengan perasaan bergalau.
“Sin…ini
Yan sudah datang!” seru suamiku. Yang kusahut dengan “Iya,” sambil
berkaca sebentar di depan cermin kamar mandi. Dengan jantung semakin
degdegan.
Duh, apa yang akan terjadi nanti? Kenapa aku mendadak jadi grogi begini?
Aku keluar dari kamar mandi. Menghampiri suamiku dan tamunya yang…ah…benar-benar tampan orang itu!
“Kenalan dulu sayang,” kata suamiku sambil memegang bahuku.
Cowok
yang kata suamiku sudah berusia 26 tahun, tapi kelihatan jauh lebih
muda, menjulurkan tangannya dengan senyum simpatik, sambil menyebutkan
namanya, “Yansen….”
“Sinta…” kataku mengenalkan diri, dengan suara tersendat.
Dan…tanganku
yang sedang dijabat oleh Yansen tidak dilepaskan. Bahkan ia menarikku
untuk duduk di sofa panjang, sementara suamiku duduk di kursi lain
sambil menggoyang-goyang kakinya.
“Cantik kan istriku?” kata Mas Toni.
Yansen yang masih memegang tanganku dengan hangatnya, menatapku dengan senyum dan berdesis, “Iya Mas. Cantik sekali…”
Aku tersipu-sipu dibuatnya.
Harusnya kutanggapi bahwa dia pun tampan sekali. Belakangan aku tahu
bahwa Yansen itu blasteran Menado dengan Belanda. Pantaslah tampang dan
postur tubuhnya sebagus itu. Belakangan juga aku tahu bahwa kamar di
hotel mahal itu dibayar oleh Yansen.
“Mas, di kulkas hotel ini suka
ada minuman, silahkan ambil sendiri,” kata Yansen sambil menunjuk ke
kulkas di kamar hotel berbintang lima itu.
Suamiku
mengangguk, lalu melangkah ke arah kulkas itu. Sementara tangan Yansen
sudah bukan memegang tanganku lagi, melainkan menyelinap ke belakang dan
memeluk pinggangku. Ini membuatku semakin degdegan.
Apakah aku tergerak dengan
semuanya ini? Ya, aku harus mengakuinya secara jujur. Tapi aku jadi
begini gugupnya. Sementara harum khas parfum buat lelaki, tersiar ke
penciumanku.
“Hebat,” seru suamiku sambil mengeluarkan beberapa botol minuman dari kulkas. Ada chivas regal, martini, tequila dan tiga sloki.
“Ayang
suka ini kan?” kata suamiku sambil mendekatkan botol Martini ke
dekatku. DI depan orang lain Mas Toni suka memanggilku dengan sebutan
“ayang”, sebagai tanda menghargaiku.
“Tapi tequila lebih bagus,” kata Yansen, “Bikin semangat.”
aku pernah mendengar bahwa
tequila bisa membuat wanita jadi horny. Tapi aku belum pernah
mencobanya. Aku memang bukan peminum, tapi sesekali bolehlah. Apalagi
saat itu aku merasa butuh keseimbangan, mungkin bisa dibantu oleh
minuman.
“Iya Mas. Aku ingin nyoba tequila,” kataku sambil berusaha menenangkan diri.
“Aku chivas regal aja, biar kerasa greng,” kata suamiku.
“Aku
juga chivas, Mas,” kata Yansen sambil mencium pipiku tanpa ragu. Aku
terkejut. Tapi diam saja. Bahkan…aduh, aneh, tubuhku terasa lemas
mendapatkan kecupan ini. Tapi harus kuakui sejujurnya, lemasnya ini
karena belenggu birahi yang mulai mencuat di dalam batinku.
Dan setelah minum tequila,
dinginnya AC tidak terasa lagi. Kecanggunganku juga mulai cair. Tapi
tetap saja ada degdegan di dada, karena makin lama Yansen makin
merapatkan duduknya ke tubuhku, sementara Mas Toni malah menyalakan TV,
dengan botol minuman di depannya dan sloki yang sudah hampir kosong di
tangannya. Aku mencuri pandang berkali-kali ke arah suamiku yang sedang
memandang ke arah TV, dengan perasaan bersalah. Karena tangan Yansen
mulai menyelinap ke balik belahan kimonoku di bagian dada. Pasti Yansen
tahu bahwa aku tak memakai beha di balik kimono sutra ini. Dan ketika
tangannya memegang payudaraku dengan lembut, oooh, aku benar-benar sudah
runtuh !
Desir darahku sudah mulai
merajalela dalam arus birahi yang tak terkendalikan. Tapi sebagai
seorang wanita, aku masih menyembunyikan hasrat ini. Aku hanya
membiarkan buah dadaku mulai diremas dengan lembut oleh belia tampan
itu, sementara bibirnya berkali-kali mengecup pipiku. Aku juga tahu suhu
badanku mulai meningkat.
“Mas Toni,” kata Yansen pada
suatu saat, “Mungkin lebih baik kalau lampunya dimatiin dulu, supaya
kami tidak canggung. Nanti bisa dinyalakan lagi…kalau Mas setuju.”
“Iya,
iya…” suamiku menjulurkan tangannya ke sakelar lampu yang tidak begitu
jauh darinya. Lalu klik….lampu di kamar mewah ini pun mati. Hanya layar
TV LCD yang masih membersitkan cahaya remang-remang.
Usul
Yansen bagus sekali.Karena setelah digelapkan, aku pun tidak merasa
rikuh lagi. Bahkan ketika bibirnya mencium bibirku, kusambut dengan
lumatan penuh gairah.
Sungguh, baru sekali inilah aku
sangat bergairah untuk saling lumat bibir dan saling julurkan lidah.
Maka tanpa ragu-ragu lagi aku mulai memeluk Yansen erat-erat, terkadang
bercampur dengan remasan bergelora.
Tapi…oh…jiwaku
semakin diamuk nafsu, karena tangan Yansen mulai merayapi lutut dan
pahaku. Rasanya aku makin sulit bernafas. Sulit menahan gelora nafsu di
dalam jiwaku. Aneh memang, elusan di pahaku terasa begini membangkitkan.
Terlebih setelah menyelinap ke balik celana dalamku…mulai meraba-raba
kemaluanku yang sudah mulai merekah dan membasah. Mulai mengelus bibir
kemaluanku, kelentitku dan ah…ini membuatku semakin tergetar dalam arus
birahi yang semakin merajalela. Terlebih ketika jemari nakal itu mulai
menyelinap ke dalam celah vaginaku, lalu bergerak-gerak binal di dalam
liang memekku, ah, rasanya tak tahan lagi aku dibuatnya. Aku sudah
kepengen merasakan kejantanan. Tapi aku harus menahan diri. Kubiarkan
saja tangan Yansen mempermainkan liang memekku. Bahkan kubiarkan juga
celana dalamku ditarik sampai terlepas dari kakiku. Berarti di balik
kimono ini aku tidak mengenakan apa-apa lagi.
“Minta lagi tequilanya, Yan,”
bisikku. Yan mengangguk, lalu menuangkan tequila ke slokiku. Kuteguk
setengahnya. Lalu aku merasa semakin bergairah. Sesekali aku melirik ke
arah Mas Toni yang masih tampak di keremangan, masih asyik menonton TV.
Lalu kubiarkan tangan Yansen mengelus dan mencolek-colek kemaluanku
lagi. Bahkan seperti pencuri yang memanfaatkan kelengahan calon korban,
diam-diam tanganku mulai menarik celana Yansen. Lalu menyelinap ke balik
celana dalamnya. Berdegup jantungku dibuatnya, karena aku sedang
memegang batang kemaluan yang begini besar dan panjangnya…sudah keras
dan hangat pula ! Secara jujur harus kuakui, batang kemaluan Yansen jauh
lebih besar dan panjang daripada punya Mas Toni.
Ini
membuatku semakin bernafsu. Tanpa ragu lagi tanganku mulai meremas dan
mengelus zakar Yansen dengan lembut. Diam-diam Yansen pun mulai
menanggalkan celana panjang dan celana dalamnya.
Dan aku tak tahu lagi apa yang
harus kulakukan, ketika Yansen melepaskan ikatan tali kimonoku, lalu
dengan hangat mencelucupi puting payudaraku. Aku menggeliat dan
merebahkan diri, terlentang di sofa panjang yang ukurannya hampir sama
dengan bed nomor 3 itu.
Tapi jilatan dan sedotan Yansen
tak terbatas pada puting payudaraku saja. Ia menjilati leherku. Lalu
melumat bibirku, yang kusambut dengan lumatan hangat juga. Lalu turun
lagi, dengan gigitan-gigitan lembut di payu daraku. Dengan
jilatan-jilatan hangat di pusar perutku…dan turun terus…mulai menjilati
kemaluanku. Oh, aku tak kuat menahan nafsu birahiku. Jilatan Yansen
memang enak sekali. Membuat sekujur tubuhku sering mengejang dan
menggeliat.
Aku tak kuat lagi. Ingin segera
merasakan persetubuhan yang sebenarnya. Maka kucubit-cubit bahu Yansen,
sebagai isyarat agar dia menghentikan jilatannya, lalu mulai dengan
persetubuhan yang sebenarnya. Tapi bagaimana dengan suamiku yang tampak
masih asyik menikmati minumannya?
Yansen mengerti apa yang
kuinginkan. Ia merayap ke atas tubuhku, sambil meletakkan puncak “pohon
jamur”nya di antara sepasang bibir kemaluanku. Dan sebelum melakukan
penetrasi, Yansen berkata, “Silakan nyalakan Mas…”
Aku
terkejut. Tak menyangka Yansen akan minta diterangin lagi. Padahal aku
sedang di puncak hasrat birahiku. Dan kamar ini jadi terang kembali.
Tepat pada saat Yansen tinggal mendorong saja batang kemaluannya yang
sudah siap di mulut memekku.
“Mas…mohon izin…” kata Yansen sambil menoleh ke arah suamiku.
Aku juga menatap suamiku, seolah-olah minta izin juga.
Mas Toni menghampiri kami.
Mengelus pipiku sambil tersenyum, “Ya, lakukanlah. Ini rahasia kita
bertiga. Orang luar takkan ada yang tahu.”
Tanpa basa basi lagi Yansen
mendesakkan batang kemaluannya yang panjang gede itu. Perlahan-lahan
terasa liang kenikmatanku diterobos batang kemaluan yang jauh lebih
besar daripada batang kemaluan suamiku. Membuatku terengah dan memegang
pergelangan tangan Mas Toni erat-erat. Oh…ini adalah pertama kalinya
memekku dimasuki batang kemaluan orang selain suamiku sendiri!
Tapi Mas Toni malah tersenyum dan berkata, “Nikmati saja. Ini kan keinginan aku, sayang. Jangan kaku…lebih hot lebih bagus.”
Lalu suamiku duduk lagi di kursi
depan TV, sambil menyaksikan kejadian yang sedang kualami. Apakah aku
mulai dipengaruhi tequila yang kuminum tadi, ataukah memang gairah
birahiku sedang memuncak, atau karena ukuran batang kemaluan Yansen yang
aduhai…entahlah. Yang jelas aku mulai menikmatinya. Mulai merasakan
enaknya ayunan batang kemaluan Yansen, yang begitu mantap dan terasa
sekali begitu kuatnya menggesek-gesek dinding liang memekku. Oh, ini
membuatku mulai mendesah-desah histeris…aaaah….oooh…aaah….oooh….aaaah….
Lebih
enak lagi ketika Yansen mulai mengemut puting payudaraku,
menyedot-nyedot dan menjilatinya, sementara batang kemaluannya demikian
mantap mengentot memekku.
Tak peduli lagi dengan kehadiran
suamiku, maka terlontar begitu saja celotehan histeris dari mulutku
yang sedang diamuk kenikmatan,
“Oo….Yan…ooo….ini enak sekali Yan….aaaah….terus genjot jangan brenti-brenti Yan…ooooh….”
Ketika aku melirik ke arah Mas
Toni, malah kulihat suamiku mengacungkan jempolnya. Mungkin ia sangat
terangsang dengan apa yang sedang kulakukan dengan Yansen yang tampan
dan perkasa ini. Maka tanpa ragu lagi aku pun mulai mengayun pinggulku.
Rasanya Yansen sangat
memperhatikan titik-titik kenikmatan seorang wanita. Waktu mengayun
batang kemaluannya, bibir dan tangannya pun tiada hentinya menyelusuri
titik-titik peka di tubuhku. Terkadang ia menggigit daun telingaku
dengan lembut, kadang-kadang juga menjilati lubang telingaku, lalu
menggigit-gigit kecil di leher dan buah dadaku, lalu melumat bibirku
kembali, sementara batang kamaluannya benar-benar perkasa bergerak maju
mundur dengan mantapnya di dalam liang memekku.
Aku jadi merasa punya tempat pelampiasan. Sambil mendekap pinggang Yansen erat-erat, kulumat bibir cowok tampan itu.
Aneh memang. Berciuman dengan
Yansen terasa indah sekali. Malah lebih indah daripada berciuman di masa
remajaku dengan Mas Toni dulu.
Semuanya
membuatku lupa daratan. Saling lumat bibir dan lidah, sehingga tak
peduli lagi dengan air ludah yang bertukar-tukar tampat, sambil saling
dekap erat dan hangat, sementara memekku dienjot terus dengan mantapnya
oleh batang kemaluan Yansen yang “giant size” itu.
Aku malah dibuat lupa bahwa di
kamar mewah itu ada suamiku yang sedang menyaksikan semuanya ini.
Soalnya gesekan batang kemaluan Yansen yang begitu terasa
mendenyut-denyutkan kenikmatanku telah membuatku seolah tiada orang
ketiga di kamar ini.
Lagian aku
teringat pada ucapan suamiku sendiri sebelum Yansen datang tadi,
“Lakukan semuanya seseksi mungkin. Semakin kelihatan bergairah, akan
semakin positif pengaruhnya bagi jiwaku.”
Jadi, salahkah kalau aku menikmati semuanya ini demi kepuasanku dan demi keinginan suamiku sendiri?
Tapi terlalu enaknya geseran
batang kemaluan Yansen, ditambah dengan saling lumat bibir dan saling
remas dengan hangat dan gairah birahi yang terlalu dahsyat ini,
membuatku cepat mencapai titik orgasme…membuatku mengejang sambil
merasakan puncak kenikmatan dari hubungan seksual yang aduhai ini. Maka
aku pun mengejang, menahan napas dan memeluk pinggang Yansen
seerat-eratnya. Lalu terasa liang memekku berkedut-kedut. Ini orgasmeku
yang aduhai. Tapi aku tidak mau membisikkannya kepada Yansen bahwa aku
sudah mencapai orgasme, karena malu.
Hanya saja aku jadi terdiam
dalam lunglai dan kepuasan. Sementara batang kemaluan Yansen jadi lancar
bergerak maju mundur di dalam liang memekku yang sudah mulai basah oleh
lendir kenikmatanku.
Dalam
kondisi yang masih lesu, tapi gairah masih berkobar, aku baru teringat
pada suamiku yang sedang memperhatikan gerak-gerikku sambil
tersenyum-senyum. Aku jadi merasa kasihan juga padanya. Lalu kulambaikan
tanganku agar ia mendekat.
Mas Toni mendekatiku. Tanganku
menjulur dan mrnarik-narik ritsleting celananya. Ia mengerti apa
tujuanku. Disembulkannya batang kemaluannya dari belahan celananya.
Sudah keras sekali! Lalu kutarik ke arah mulutku.
Mas Toni jadi pindah untuk
mencapai tujuanku. Dia jadi berlutut dengan kaki berada di kiri kanan
kepalaku. Sementara Yansen mengentotku sambil menahan badan dengan kedua
tangannya.
Aku berhasil menarik batang
kemaluan Mas Toni ke dalam mulutku. Akupuin mulai menjilati dan
menyedot-nyedot batang kemaluan Mas Toni. Ini adalah pertama kalinya aku
meladeni dua orang pria sekaligus.
Bukan main…aku jadi sibuk tapi
nikmatnya luar biasa.Gesekan-gesekan batang kemaluan Yansen yang makin
gencar mengentot memekku, membuatku terengah-engah dalam nikmat. Lalu
kulampiaskan ke arah zakar suamiku, dengan menyelomotinya seedan
mungkin.
Sungguh aku tak menduga akan
mengalami peristiwa yang luar biasa bergairahnya ini. Tapi sayang
sekali, baru beberapa menit kuselomoti batang kemaluan Mas Toni, lalu
terasa menyembur-nyemburkan air mani di dalam mulutku! Mungkin ia sangat
terangsang melihat persetubuhanku dengan Yansen, sehingga cepat sekali
ia mengalami ejakulasi. Tanpa banyak protes, kutelan seluruh cairan
kental dari batang kemaluan suamiku ini. Tak kusisakan setetes pun.
Supaya tidak mendatangkan kesan
kurang enak, aku minta tequila lagi. Suamiku menuruti permintaanku.
Kuminta agar Yansen mencabut dulu batang kemaluannya dari memekku. Lalu
kuteguk tequila di slokiku sekaligus. Gairahku semakin menjadi-jadi
setelah minum tequila yang konon dibuat dari sari buah nanas itu.
Aku mengajak Yansen pindah ke
atas tempat tidur. Yansen setuju. Sementara suamiku merebahkan diri di
sofa panjang itu. Pasti karena lemas setelah ejakulasi tadi.
“Tukar posisi ya,” kataku sambil
mendorong dada Yansen agar menelentang di kasur. Yansen tersenyum dan
mengikuti kehendakku. Kemudian aku merayap ke atas tubuhnya. Memegang
batang kemaluannya sambil mengarahkan ke mulut vaginaku.
Dengan gairah yang makin
menggila, aku menurunkan pinggulku, sehingga batang kemaluan Yansen
membenam ke dalam liang kenikmatanku.
Aku menjatuhkan diri ke dada Yansen, sehingga payudaraku terasa mendesak dadanya yang bidang dan atletis.
Seperti serigala lapar, aku
dengan edan mengayun pinggulku, naik turun dan meliuk-liuk, sehingga
liang memekku seperti membesot-besot batang kemaluan Yansen…membuat
Yansen ternganga-nganga mungkin karena merasa enaknya besotan liang
vaginaku. Tapi kututup mulut Yansen dengan ciuman hangatku, yang lalu
menjadi luamatan penuh gairah. Aku sudah minum tequila lagi tadi,
membuatku yakin takkan ada bau kurang sedap tersiar dari mulutku. Dalam
posisi seperti ini, terasa buah pinggulku diremas-remas oleh Yansen,
membuatku tambah bersemangat untuk mengayun pantatku dengan gerakan yang
erotis, terkadang gerakan pinggulku seperti angka 8.
Aku tak peduli lagi siapa diriku
dan siapa lelaki muda yang sedang bersetubuh denganku. Mungkin Mas Toni
benar, seperti yang diungkap dalam file pribadinya itu, bahwa aku ini
pada dasarnya memiliki nafsu besar. Hanya aku sering menyembunyikannya,
karena aku ini seorang wanita.
Gilanya, Yansen belum ejakulasi juga. Padahal aku sudah 3 kali merasakan orgasme.
“Kamu minum obat kuat?” bisikku terengah, tanpa menghentikan ayunan pinggulku.
“Nggak. Swear…nggak pernah menyentuh obat kuat segala macam…” sahut Yansen sambil menciumi puting payudaraku.
“Kamu kuat sekali sayang….kalau begini bisa ketagihan aku nanti…” bisikku pelan, takut kedengaran sama Mas Toni.
“Emang biasanya suka berapa jam?”
“Nanti
deh kuceritakan. aku memang lain dari yang lain…oooh….memekmu enak
sekali Mbak….aku pasti ketagihan nih…” Yansen terpejam-pejam ketika
liang memekku membesot dengan kencang. Ini sebenarnya untuk kenikmatanku
juga.
Karena makin kencang aku membesotnya, makin enak juga rasanya buatku.
Aku
tidak tahu apa yang ia maksud dengan “lain dari yang lain”. Aku cuma
merasa ia terlalu tangguh, sehingga aku harus berjuang keras untuk
membuatnya ejakulasi. Maka besotan-besotan liang vaginaku juga semakin
kupergila. Tapi akibatnya…aku malah orgasme lagi untuk yang kesekian
kalinya. Gila, belum pernah aku mengalami persetubuhan seedan
ini.Padahal keringat Yansen sudah membasahi tubuhnya, berbaur dengan
keringatku.
Yansen malah seperti
menyukai keringat yang membasahi leherku. Ia pun menjilati keringat di
leherku, membuatku merinding dalam nikmat. Sungguh…tak pernah
kubayangkan bahwa ide suamiku telah memberikan kenikmatan yang aduhai
begini.
Kelopak mataku juga tak luput
dari kecupan dan jilatannya. Sehingga aku makin bersemangat untuk
mengayun pinggulku, tanpa mempedulikan suamiku yang sudah terkapar di
sofa.
Batang kemaluan Yansen yang
begitu panjangnya, membuat ujung liang memekku disundul-sundul terus.
Sungguh fantastis rasanya, karena puranaku (seperti cincin yang berada
di ujung liang vagina) disundul-sundul terus, membuatku merem melek
dalam nikmat yang sulit kulukiskan dengan kata-kata.
Yansen sendiri sering membisikiku, “Mbak…oooh…Mbak enak sekali….luar biasa enaknya….”
Aku sendiri seolah
melayang-layang di langit yang ke tujuh saking nikmatnya. Sehingga
terkadang aku meremas setengah mencakar-cakar bahu Yansen dalam keadaan
lupa daratan.
Begitu lama Yansen
menyetubuhiku, sehingga aku merasa berkali-kali orgasme, tapi aku tidak
mengatakannya, karena malu mengakui bahwa semuanya ini terlalu nikmat
bagiku.
Sampai pada satu saat, Yansen
membisiki telingaku, pelan sekali, seperti takut terdengar oleh suamiku:
“Aku mau lepas…gakpapa kalau kulepasin di dalam?”
Aku malah menjawabnya dengan spontan, “Iya, lepasin di dalam aja biar enak.”
Lalu kugoyang pinggulku seedan
mungkin. Dan pada satu saat Yansen menekankan batang kemaluannya sedalam
mungkin, sampai aku terbeliak dalam arus birahi yang fantastis. Dan
batang kemaluan perkasa itu terasa mengejut-ngejut di dalam liang
vaginaku, sambil menyemprot-nyemprotkan cairan hangat dan
kental…srrrt…srrrt…srrttttt…srttttt…..oooh enak sekali semburan air mani
Yansen ini. Rasanya baru sekali ini aku meresapi arti nikmatnya
bersetubuh,bukan dengan suamiku pula, sehingga aku mendekap pinggang
Yansen dengan penuh perasaan. Dan membiarkan keringatnya membanjiri
tubuhku. Air maninya pun terasa meluap, meleleh dari memekku ke seprai.
Begitu banyak dia memuntahkan air maninya.
Oh, indahnya malam yang penuh birahi ini…..seakan takkan berujung…seakan nafasku sudah menyatu dengan perjalanan baru ini.